Senin, 16 Agustus 2010

Nikmatnya Surga, Nikmat Abadi
Posted by M. Mochtar Effendy in Artikel Islam on 02 13th, 2008 | 2 responses


nikmat-surga-01.jpg

nikmat-surga-03.jpg
nikmat-surga-02.jpg

Diambil dari Majalah Tashfia edisi 03/I/2006

Halal dan Haram dalam Islam

oleh Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota




2.1.14 Keadaan Darurat dan Pengecualiannya

Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.

Firman Allah:

"Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am: 119)

Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:

"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)

Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.

Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.

Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya.

Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala 'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.

Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu: Tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:

"Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. " (al-Maidah: 3)

2.1.15 Daruratnya Berobat

Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:

"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)

Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.2

Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.

Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:

1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).

Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercava, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat. Tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat' (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yany haram.
2.1.16 Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu

Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.

Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm: "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.

Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).

Seperti firman Allah:

"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah." (al-Hujurat: 9)

Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.3
2.1.17 Penyembelihan Menurut Syara'
2.1.17.1 Binatang Laut dan Darat

BINATANG, dilihat dari segi tempatnya ada dua macam: Binatang laut dan binatang darat.
2.1.17.1.1 Binatang laut yaitu semua binatang yang hidupnya di dalam air

Binatang ini semua halal, didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu diambilnya itu masih dalam keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau tidak. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti: anjing laut, babi laut dan sebagainya.

Bagi yang mengambilnya tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang muslim ataupun orang kafir. Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada hamba-hambaNya dengan memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang laut, tidak ada satupun yang diharamkan dan tidak ada satupun persyaratan untuk menyembelihnya seperti yang berlaku pada binatang lainnya. Bahkan Allah menyerahkan bulat-bulat kepada manusia untuk mengambil dan menjadikannya sebagai modal kekayaan menurut kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin untuk tidak menyiksanya.

Firman Allah:

"Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging yang lembut." (an-Nahl: 14)

"Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar." (al-Maidah: 96)

Di sini Allah menyampaikan secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan, sedang Allah tidak akan lupa (wamakana rabbuka nasiyan).
2.1.17.1.2 Binatang darat yang haram

Tentang binatang darat, al-Quran tidak jelas menentukan yang haram, melainkan babi, darah, bangkai dan yang disembelih bukan karena Allah, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat terdahulu, dengan susunan yang terbatas pada empat macam dan diperinci menjadi 10 macam.

Tetapi di samping itu al-Quran juga mengatakan:

"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 157)

Yang disebut Khabaits (yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Justru itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota pada hari Khaibar.

Hadisnya itu berbunyi sebagai berikut:

"Rasulullah s.a.w. melarang makan daging keledai kota pada hari perang Khaibar."4 (Riwayat Bukhari)

Dan untuk itu diriwayatkan bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram:

"Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram." (Riwayat Bukhari)

Yang dimaksud Binatang Was (siba'), yaitu binatang yang menangkap binatang lainnya dan memakan dengan bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan apa yang dimaksud dengan burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi), yaitu yang kukunya itu dapat melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak bangkai dan burung yang sejenis dengan elang.

Ibnu Abbas berpendapat, bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat seperti yang tersebut dalam ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di atas dan lain-lain sebagai mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya.

Ibnu Abbas juga pernah berkata: "Bahwa orang-orang jahiliah pernah makan sesuatu dan meninggalkan sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah mengutus nabiNya dan menurunkan kitabNya. Di situlah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Oleh karena itu, apa yang dihalalkan, berarti halal, dan apa yang diharamkan, berarti haram, sedang yang didiamkan berarti dimaafkan (halal). Kemudian ia membaca ayat:

"Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali ..." (al-An'am: 145)5

Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai kota itu halal.

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak menganggap haram terhadap binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia hanya menganggap makruh.

Yang sudah pasti, bahwa penyembelihan secara syara' tidak mempengaruhi halalnya binatang-binatang yang haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya kulit sehingga tidak perlu lagi disamak.



(sebelum, sesudah)
Halal dan Haram dalam Islam

oleh Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota




2.1.14 Keadaan Darurat dan Pengecualiannya

Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.

Firman Allah:

"Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am: 119)

Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:

"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)

Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.

Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.

Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya.

Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala 'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.

Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu: Tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:

"Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. " (al-Maidah: 3)

2.1.15 Daruratnya Berobat

Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:

"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)

Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.2

Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.

Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:

1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).

Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercava, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat. Tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat' (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yany haram.
2.1.16 Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu

Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.

Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm: "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.

Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).

Seperti firman Allah:

"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah." (al-Hujurat: 9)

Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.3
2.1.17 Penyembelihan Menurut Syara'
2.1.17.1 Binatang Laut dan Darat

BINATANG, dilihat dari segi tempatnya ada dua macam: Binatang laut dan binatang darat.
2.1.17.1.1 Binatang laut yaitu semua binatang yang hidupnya di dalam air

Binatang ini semua halal, didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu diambilnya itu masih dalam keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau tidak. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti: anjing laut, babi laut dan sebagainya.

Bagi yang mengambilnya tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang muslim ataupun orang kafir. Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada hamba-hambaNya dengan memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang laut, tidak ada satupun yang diharamkan dan tidak ada satupun persyaratan untuk menyembelihnya seperti yang berlaku pada binatang lainnya. Bahkan Allah menyerahkan bulat-bulat kepada manusia untuk mengambil dan menjadikannya sebagai modal kekayaan menurut kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin untuk tidak menyiksanya.

Firman Allah:

"Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging yang lembut." (an-Nahl: 14)

"Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar." (al-Maidah: 96)

Di sini Allah menyampaikan secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan, sedang Allah tidak akan lupa (wamakana rabbuka nasiyan).
2.1.17.1.2 Binatang darat yang haram

Tentang binatang darat, al-Quran tidak jelas menentukan yang haram, melainkan babi, darah, bangkai dan yang disembelih bukan karena Allah, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat terdahulu, dengan susunan yang terbatas pada empat macam dan diperinci menjadi 10 macam.

Tetapi di samping itu al-Quran juga mengatakan:

"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 157)

Yang disebut Khabaits (yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Justru itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota pada hari Khaibar.

Hadisnya itu berbunyi sebagai berikut:

"Rasulullah s.a.w. melarang makan daging keledai kota pada hari perang Khaibar."4 (Riwayat Bukhari)

Dan untuk itu diriwayatkan bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram:

"Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram." (Riwayat Bukhari)

Yang dimaksud Binatang Was (siba'), yaitu binatang yang menangkap binatang lainnya dan memakan dengan bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan apa yang dimaksud dengan burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi), yaitu yang kukunya itu dapat melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak bangkai dan burung yang sejenis dengan elang.

Ibnu Abbas berpendapat, bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat seperti yang tersebut dalam ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di atas dan lain-lain sebagai mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya.

Ibnu Abbas juga pernah berkata: "Bahwa orang-orang jahiliah pernah makan sesuatu dan meninggalkan sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah mengutus nabiNya dan menurunkan kitabNya. Di situlah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Oleh karena itu, apa yang dihalalkan, berarti halal, dan apa yang diharamkan, berarti haram, sedang yang didiamkan berarti dimaafkan (halal). Kemudian ia membaca ayat:

"Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali ..." (al-An'am: 145)5

Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai kota itu halal.

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak menganggap haram terhadap binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia hanya menganggap makruh.

Yang sudah pasti, bahwa penyembelihan secara syara' tidak mempengaruhi halalnya binatang-binatang yang haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya kulit sehingga tidak perlu lagi disamak.



(sebelum, sesudah)
Halal dan Haram dalam Islam

oleh Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota




2.1.14 Keadaan Darurat dan Pengecualiannya

Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.

Firman Allah:

"Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am: 119)

Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:

"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)

Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.

Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.

Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya.

Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala 'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.

Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu: Tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:

"Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. " (al-Maidah: 3)

2.1.15 Daruratnya Berobat

Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:

"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)

Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.2

Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.

Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:

1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).

Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realita yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercava, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat. Tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat' (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yany haram.
2.1.16 Perseorangan Tidak Boleh Dianggap Darurat Kalau Dia Berada Dalam Masyarakat yang di Situ Ada Sesuatu yang Dapat Mengatasi Keterpaksaannya Itu

Tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.

Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm: "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir zimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada rekannya yang sedang kelaparan.

Kalau betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan dia boleh memerangi keadaan seperti itu. Kalau dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qisas, dan kalau yang menahan uangnya itu sampai terbunuh, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang zalim).

Seperti firman Allah:

"Kalau salah satunya berbuat zalim kepada yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga mereka mau kembali kepada hukum Allah." (al-Hujurat: 9)

Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang berbuat jahat kepada kawannya yang mempunyai hak. Justru itulah Abubakar as-Siddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.3
2.1.17 Penyembelihan Menurut Syara'
2.1.17.1 Binatang Laut dan Darat

BINATANG, dilihat dari segi tempatnya ada dua macam: Binatang laut dan binatang darat.
2.1.17.1.1 Binatang laut yaitu semua binatang yang hidupnya di dalam air

Binatang ini semua halal, didapat dalam keadaan bagaimanapun, apakah waktu diambilnya itu masih dalam keadaan hidup ataupun sudah bangkai, terapung atau tidak. Binatang-binatang tersebut berupa ikan ataupun yang lain, seperti: anjing laut, babi laut dan sebagainya.

Bagi yang mengambilnya tidak lagi perlu diperbincangkan, apakah dia seorang muslim ataupun orang kafir. Dalam hal ini Allah memberikan keleluasaan kepada hamba-hambaNya dengan memberikan perkenan (mubah) untuk makan semua binatang laut, tidak ada satupun yang diharamkan dan tidak ada satupun persyaratan untuk menyembelihnya seperti yang berlaku pada binatang lainnya. Bahkan Allah menyerahkan bulat-bulat kepada manusia untuk mengambil dan menjadikannya sebagai modal kekayaan menurut kebutuhannya dengan usaha semaksimal mungkin untuk tidak menyiksanya.

Firman Allah:

"Dialah Zat yang memudahkan laut supaya kamu makan daripadanya daging yang lembut." (an-Nahl: 14)

"Dihalalkan buat kamu binatang buronan laut dan makanannya sebagai perbekalan buat kamu dan untuk orang-orang yang belayar." (al-Maidah: 96)

Di sini Allah menyampaikan secara umum, tidak ada satupun yang dikhususkan, sedang Allah tidak akan lupa (wamakana rabbuka nasiyan).
2.1.17.1.2 Binatang darat yang haram

Tentang binatang darat, al-Quran tidak jelas menentukan yang haram, melainkan babi, darah, bangkai dan yang disembelih bukan karena Allah, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat terdahulu, dengan susunan yang terbatas pada empat macam dan diperinci menjadi 10 macam.

Tetapi di samping itu al-Quran juga mengatakan:

"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 157)

Yang disebut Khabaits (yang kotor-kotor), yaitu semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum, kendati beberapa prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Justru itu Rasulullah dalam hadisnya melarang makan keledai kota pada hari Khaibar.

Hadisnya itu berbunyi sebagai berikut:

"Rasulullah s.a.w. melarang makan daging keledai kota pada hari perang Khaibar."4 (Riwayat Bukhari)

Dan untuk itu diriwayatkan bahwa Rasulullah melarang binatang yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram:

"Rasulullah melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram." (Riwayat Bukhari)

Yang dimaksud Binatang Was (siba'), yaitu binatang yang menangkap binatang lainnya dan memakan dengan bengis, seperti singa, serigala dan lain-lain. Dan apa yang dimaksud dengan burung yang berkuku (dzi mikhlabin minath-thairi), yaitu yang kukunya itu dapat melukai, seperti burung elang, rajawali, ruak-ruak bangkai dan burung yang sejenis dengan elang.

Ibnu Abbas berpendapat, bahwa binatang yang haram dimakan itu hanya empat seperti yang tersebut dalam ayat. Seolah-olah beliau menganggap hadis-hadis di atas dan lain-lain sebagai mengatakan makruh, bukan haram. Atau mungkin karena hadis-hadis tersebut tidak sampai kepadanya.

Ibnu Abbas juga pernah berkata: "Bahwa orang-orang jahiliah pernah makan sesuatu dan meninggalkan sesuatu karena dipandang kotor. Kemudian Allah mengutus nabiNya dan menurunkan kitabNya. Di situlah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Oleh karena itu, apa yang dihalalkan, berarti halal, dan apa yang diharamkan, berarti haram, sedang yang didiamkan berarti dimaafkan (halal). Kemudian ia membaca ayat:

"Katakanlah! Saya tidak mendapatkan sesuatu yang diwahyukan kepadaku tentang makanan yang diharamkan bagi orang yang mau makan kecuali ..." (al-An'am: 145)5

Berdasar ayat ini, Ibnu Abbas berpendapat bahwa daging keledai kota itu halal.

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik, dimana beliau tidak menganggap haram terhadap binatang-binatang buas dan sebagainya, tetapi ia hanya menganggap makruh.

Yang sudah pasti, bahwa penyembelihan secara syara' tidak mempengaruhi halalnya binatang-binatang yang haram itu, tetapi mempengaruhi terhadap sucinya kulit sehingga tidak perlu lagi disamak.



(sebelum, sesudah)
Hewan yang Haram Dimakan
i
2 Votes

Quantcast

Dalam Surat Al Baqarah ayat 173 Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menerangkan tentang beberapa makanan yang diharamkan oleh Allah, yaitu:

A. Bangkai

1. Hewan yang mati dengan sendirinya.
2. Hewan yang dimatikan tidak sesuai dengan syariat Islam (seperti: dicekik, ditenggelamkan)
3. Hewan yang mati karena dipukul atau disentrum.
4. Hewan yang jatuh dari tempat yang tinggi (termasuk hewan yang mati ditabrak)
5. Hewan yang mati karena diserang oleh hewan lainnya (ditanduk, diterkam atau yang lainnya).

Bangkai yang dikecualikan dan bisa dimakan yakni ikan dan belalang.

B. Darah

Darah yang diharamkan yaitu darah yang mengalir dari hewan yang disembelih. Darah jenis ini dikategorikan sebagai najis. Sementara sisa darah yang menempel pada daging sembelihan termasuk halal dan tidak dikategorikan sebagai najis. Sementara itu, hati dan limpa halal untuk dimakan.

C. Daging Babi

Baik babi yang dipelihara ataupun babi liar. Termasuk juga zat yang dikeluarkan dari tubuh babi tersebut.

D. Sembelihan untuk selain Allah

Syarat penyembelihan adalah menyebut nama Allah. Jika lupa, maka daging sembelihan itu dianggap bangkai. Namun, sang penyembelihan tidak mendapatkan dosa, karena dia melakukan kesalahan karena lupa. Menyebut nama Allah di sini tidak mesti dengan ucapan bismillah, tapi juga bisa dengan melafadzkan bismi rahman, atau bismi ‘aziz.

E. Binatang buas

Baik itu binatang buas yang bertaring ataupin yang memiliki kuku yang tajam atau anggota badan lainnya yang digunakan untuk membunuh mangsa.

F. Keledai Jinak/Peliharaan, dalam hal ini, syariat memperbolehkan kita keledai liar ataupun kuda.

G. Hewan yang dilarang dimakan karena faktor apa yang dimakannya, misalnya: hewan pemakan kotoran, hewan yang memakan bangkai.

Terkait dengan hewan yang hidup di 2 alam seperti kepiting, kura-kura dan anjing laut, belum ditemukan dalil yang tegas tentang kehalalan maupun keharamannya.

NB: Artikel ini bersumber dari ceramah Ahad Pagi Masjid Kampus UGM, 5 April 2009 dengan pembicara Ust. Abu Abdirrahman. (Semua isi artikel ini tanggung-jawab penulis. Jika ada kesalahan mohon diperbaiki)
Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya
Post Pic
Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya
On 11.25.09, In Articles, by Kado Haji

Fir’aun.

Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.
Wanita, sosok lemah dan tak berdaya yang terbayangkan. Dengan lemahnya fisik, Allah tidak membebankan tanggung jawab nafkah di pundak wanita, memberi banyak keringanan dalam ibadah dan perkara lainnya. Mereka adalah sosok yang mudah mengeluh dan tidak tahan dengan beban yang menghimpitnya. Dengan kebengkokannya sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap baik kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.

Namun, kelemahan itu tak harus melunturkan keteguhan iman. Sebagaimana keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang menjadi musuh Allah Rabb alam semesta. Seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.

Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.

Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?” Mereka menyanjungnya.Lalu Fir’aun berkata lagi kepada mereka,“Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selainku.” Berkatalah mereka kepadanya,“Bunuhlah dia!”

Alangkah beratnya ujian wanita ini, disiksa oleh suaminya sendiri.

Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakkan batu yang besar. Subhanallah…saudariku, mampukah kita menghadapi siksaan semacam itu? Siksaan yang lebih layak ditimpakan kepada seorang laki-laki yang lebih kuat secara fisik dan bukan ditimpakan atas diri wanita yang bertubuh lemah tak berdaya. Siksaan yang apabila ditimpakan atas wanita sekarang, mugkin akan lebih memilih menyerah daripada mengalami siksaan semacam itu.

Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.

Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.

Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdo’a memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam al-Qur’an,

“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11)

Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.

Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.

Saudariku..tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.

Saudariku..tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.

Saudariku…jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinana kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.

Maraaji’:
14 Wanita Mulia dalam sejarah Islam (terjemahan dari Nisa’ Lahunna Mawaqif) karya Azhari Ahmad Mahmud

***
Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya
Post Pic
Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya
On 11.25.09, In Articles, by Kado Haji

Fir’aun.

Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.
Wanita, sosok lemah dan tak berdaya yang terbayangkan. Dengan lemahnya fisik, Allah tidak membebankan tanggung jawab nafkah di pundak wanita, memberi banyak keringanan dalam ibadah dan perkara lainnya. Mereka adalah sosok yang mudah mengeluh dan tidak tahan dengan beban yang menghimpitnya. Dengan kebengkokannya sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap baik kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.

Namun, kelemahan itu tak harus melunturkan keteguhan iman. Sebagaimana keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang menjadi musuh Allah Rabb alam semesta. Seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.

Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.

Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?” Mereka menyanjungnya.Lalu Fir’aun berkata lagi kepada mereka,“Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selainku.” Berkatalah mereka kepadanya,“Bunuhlah dia!”

Alangkah beratnya ujian wanita ini, disiksa oleh suaminya sendiri.

Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakkan batu yang besar. Subhanallah…saudariku, mampukah kita menghadapi siksaan semacam itu? Siksaan yang lebih layak ditimpakan kepada seorang laki-laki yang lebih kuat secara fisik dan bukan ditimpakan atas diri wanita yang bertubuh lemah tak berdaya. Siksaan yang apabila ditimpakan atas wanita sekarang, mugkin akan lebih memilih menyerah daripada mengalami siksaan semacam itu.

Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.

Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.

Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdo’a memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam al-Qur’an,

“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11)

Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.

Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.

Saudariku..tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.

Saudariku..tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.

Saudariku…jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinana kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.

Maraaji’:
14 Wanita Mulia dalam sejarah Islam (terjemahan dari Nisa’ Lahunna Mawaqif) karya Azhari Ahmad Mahmud

***
Satu Hati - Satu Jalan
HomeBlogCalendarReviewsMarketRecipesLinks

binimam
binimam

* Photos of Abu Rara Osshi Ghonie
* Personal Message
* RSS Feed [?]
* Report Abuse


ReviewReviewReviewReview Makanan Haram Yang Haram Dimakan Apr 28, '07 1:12 AM
for everyone
Category: Other
MAKANAN HARAM

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominant bagi diri orang yang memakannya, artinya : makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah baik, tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dan firmanNya yang lain : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit : “Ya Rabbi ! Ya Rabbi! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram,dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya” [Hadits Riwayat Muslim no. 1015]

Allah juga berfirman.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]

Makna “ At-Thoyyibaat” bisa berarti lezat/enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. [Lihat Fathul Bari (9/518) oleh Ibnu Hajar]

Sedangkan makan “Al-Khabaaits” bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Sesuatu yang menjijikan seperti barang-barang najis, kotoran atau hewan-hewan sejenis ulat, kumbang, jangkrik, tikus, tokek/cecak, kalajengking, ular dan sebagainya sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i. [Lihat Al-Mughni (13/317) oleh Ibnu Qudamah]. Sesuatu yang membahayakan seperti racun, narkoba dengan aneka jenisnya, rokok dan sebagainya. Adapun makanan haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.

KAIDAH PENTING TENTANG MAKANAN

Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kita tegaskan terlebih dahulu bahwa asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal. Allah berfirman.

“Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” [Al-Baqarah : 168]

Tidak boleh bagi seorang untuk mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Apabila seorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. FirmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan lebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [An-Nahl : 116]

MAKANAN HARAM

Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam Al-Qur’an satu persatu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya. Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah memerinci secara detail dalam Al-Qur’an atau melalui lisan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]

Perincian penjelasan tentang makanan haram, dapat kita temukan dalam surat Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut ;

“Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al-Maidah : 3]

Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram yaitu :

[1]. BANGKAI

Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sebagai berikut.

[a].Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
[b].Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
[c]. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati
[d]. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir]

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits.

“Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: " Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan
limpa." [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11]

Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda.

"Artinya : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya".: [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11]

Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no. 480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: "Laut itu seci airnya dan halal bangkainya" [Hadits Riwayat. Daraqutni: 538]

Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. [Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi]

[2]. DARAH

Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya :

"Artinya : Atau darah yang mengalir" [Al-An'Am : 145]

Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah
mengharamkan darah pada umat ini. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24]

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: " Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan
ulama' yang mengharamkannya". [Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan)]

[3]. DAGING BABI

Babi, baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama.

Hikmah pengharamannya karena babi adalah hewan yang sangat menjijikan dangan mengandung penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu,makanan kesukaan hewan ini adalah barang-barang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya dalam setiap iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam percobaan. Makan daging babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal yang dapat mematikan. Penelitian telah menyibak bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan adanya penyakit ganas yang sulit pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah 3/394-395]

[4]. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH

Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

[5]. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS

Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.

Al-Mauqudhah, Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

[6]. BINATANG BUAS BERTARING

Hal ini berdasarkan hadits :

"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" [Hadits Riwayat. Muslim no. 1933]

Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118-119).

Maksudnya "dziinaab" yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan". [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi]

Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. [Lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I'lamul Muwaqqi'in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Alban]

Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bukan pendapat orang....".

Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi'i berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. [Shahih. Hadits Riwayat Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu
Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507)]

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani
dalam At-Ta'liqat Ar-Radhiyyah (3-28)

[7]. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM

Hal ini berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam" [Hadits Riwayat Muslim no. 1934]

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234) "Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya". Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung
yang berkuku tajam."

[8]. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)

Hal ini berdasarkan hadits

"Artinya : Dari Jabir berkata: "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". [Hadits Riwayat Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941]

Dalam riwayat lain disebutkan begini.

"Artinya : Pada perang Khaibar, mereka meneyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda" [Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811]

Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :

Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. [Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani]

Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha' bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: " Salafmu biasa memakannya (daging kuda)". Ibnu Juraij
berkata: "Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani]
___________________________________________________________________
[Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 12 Tahun II/Rojab 1424. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat : Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim] - Dikirim oleh Al Akh Achmad Mudakir dari Milis Perisai
Tags: ibrah
Hewan yang Halal dan Haram Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Tanya:

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya bekerja pada perusahaan asing dan sering menjamu tamu atau dijamu oleh relasi makan. Sehubungan dengan hal tersebut, saya ingin menayakan mengenai halal haramnya makanan di bawah ini untuk kita umat Islam.
1) Kodok
2) Rajungan
3) Kepiting
4) Daging Penyu
5) Makanan impor yang tidak berlabel halal akan tetapi jelas-jelas tidak termasuk katagori haram (Seperti: Mie instant Impor, Ikan kalengan impor, dll). Mohon petunjuknya, terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Purnama

Jawab:

Dalam soal halal atau haramnya memakan hewan, ada sebuah kaidah fikih yang menyatakan: jika dalam satu hewan terdapat aspek yang menghalalkan dan aspek yang mengharamkan, maka yang dimenangkan adalah aspek yang mengharamkan.Sebagai contoh, hewan yang lahir dari pasangan babi (haram) dan kambing (halal) dalam soal hukum memakannya adalah mengikuti unsur sang babi. Artinya, anak yang lahir dari pasangan campuran tsb adalah haram.

Hubungan kaidah di muka dengan kodok, rajungan, kepiting dan penyu:
1. Kodok, adalah spesis hewan yang dapat hidup di dua tempat, air dan darat (ampibi). Kalau melihatnya sebagai hewan yang dapat hidup di air maka ia adalah halal dimakan. Rasul SAW. mengatakan: "Ia (laut) adalah yang suci airnya dan yang halal bangkainya" (Turmudzi dan Nasa i). Artinya, segala hewan yang dapat hidup di air adalah halal dimakan. Namun melihatnya sebagai hewan yang dapat hidup di darat, ia adalah jenis hewan melata yang dianggap menjijikkan, sehingga memakannya adalah haram.

Menurut alur fikih demikian ini, yang didukung oleh ulama-ulama Syafi'iyah, maka kodok adalah hewan yang haram dimakan. Karena ia mengandung unsur haram (darat) dan unsur halal (laut), dan sesuai dengan kaidah dimuka, maka yang menentukan adalah unsur haramnya.

Di samping itu sebagian besar ulama (selain Malikiyah) mengharamkan kodok karena Nabi saw. melarang membunuh kodok (HR. Abu Dawud, Ahmad, dll). Biasanya Nabi melarang membunuh suatu hewan itu adakalanya karena haram memakannya, atau karena memulyakannya, atau kedua-duanya.

2. Rajungan halal, karena ia ternasuk hewan yang hanya mampu hidup di laut (air).

3. Kepiting:
Para ulama di Indonesia, yang merupakan pengikut madzhab Syafi'iyah, berselisih pendapat, sesuai dengan asumsinya masing-masing. Sebagian mengatakan, bahwa kepiting adalah jenis hewan ampibi, maka hukumnya haram dimakan. Dan sebagian yang lain mengatakan, bahwa ia hanya mampu hidup di air saja, maka ia halal dimakan.

Kalau menurut saya, ia adalah jenis hewan yang hanya mempu hidup dengan bantuan air. Ia mampu hidup di darat asalkan ditaruh ditempat yang basah. Jadi, ia adalah halal dimakan.

4. Penyu.
Menurut ulama-ulama Syafi'iyah, ia haram dimakan karena dianggap sebagai hewan darat atau setidak-tidaknya ia adalah jenis hewan ampibi. Sementara menurut Malikiyah, hewan dianggap sebagai jenis "hewan air", jika ia mampu hidup di dalam air, walaupun juga mampu hidup di daratan. Sehingga menurut teori fikih Malikiyah ini, katak, rajungan dan kepiting hukumnya halal.
Adapan penyu menurut Imam Malik, mempunyai dua jenis, yang pertama adalah jenis air (sulahfaah) dan jenis darat (tursul maa'). Jenis pertama halal (walaupun tanpa disembelih) dan jenis kedua halal dengan syarat harus disembelih secara syar'iy.

Adapun masalah makanan kaleng sebagaimana disebutkan penanya adalah halal, selama hal-hal yang mengharamkannya tidak nyata. Wallahua'lam bisshawaab.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak
1. Islam Adalah Agama Kebersihan

Perhatian Islam atas dua jenis kesucian itu -hakiki dan maknawi- merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan.

2. Islam Memperhatian Pencegahan Penyakit

Termasuk juga bentuk perhatian serius atas masalah kesehatan baik yang bersifat umum atau khusus. Serta pembentukan pisik dengan bentuk yang terbaik dan penampilan yang terindah. Perhatian ini juga merupakan isyarat kepada masyarakat untuk mencegah tersebarnya penyakit, kemalasan dan keengganan.

Sebab wudhu’ an mandi itu secara pisik terbukti bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas dan membersihkan diri dari segala macam kuman penyakit yang setiap sat bisa menyerang kondisi tubuh. Secara ilmu kedokteran modern terbukti bahwa upaya yang paling efektif untuk mencegah terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan seperti yang sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari mengobati.

3. Orang Yang Menjaga Kebersihan Dipuji Allah

Allah SWT telah memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian di dalam Al-quran Al-Kariem.

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihan diri. (QS. Al-Baqarah : 222).

Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri Dan Allah menyukai orang yang membersihkan diri. (QS. An-Taubah : 108).

Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada jamaah dari shahabatnya :

Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji. (HR. Ahmad)

4. Kesucian Itu Sebagian Dari Iman

Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai dan derajat keimanan seseorang. Bila urusan kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan sebaliknya, bila masalah kesucian ini tidak diperhatikan, maka kulitas imannya sangat dipertaruhkan.

Kesucian itu bagian dari Iman (HR. Muslim)

5. Kesucian Adalah Syarat Ibadah

Selain menjadi bagian utuh dari keimanan seseorang, masalah kesucian ini pun terkait erat dengan syah tidaknya ibadah seseorang. Tanpa adanya kesucian, maka seberapa bagus dan banyaknya ibadah seseorang akan menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak didasari dengan kesucian baik hakiki maupun maknawi.

Rasulullah SAW bersabda :

Dari Ali bin Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Kunci shalat itu adalah kesucian, yang mengharamkannya adalah takbir dan menghalalkannya adalah salam`. (HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan hadits ini statusnya adalah hasan shahih).
materi referensi:
http://akhrama.wordpress.com/category/fi…

* 3 bulan lalu
Jenis-jenis najis


Bahagian-bahagian najis:

S: Berapakah bahgian najis?

J: Najis terbahagi kepada tiga bahagian iaitu:

1.Najis Mukhaffafah

Najis mukhaffafah ialah kencing kanak-kanak lelaki yang belum sampai umurnya dua tahun yang tiada makan sesuatu selain dari susu(susu yang dicampur gula atau tepung itu hukumnya seperti yang selain dari susu).

2.Najis Mughallazah

Najis mughallazah ialah anjing dan babi dan keturunan dari keduanya atau salah satu dari keduanya.

3.Najis Mutawasitah

Najis mutawasitah adalah najis selain dari najis mukhaffafah dan najis mukhalazah iaitu:

• Setiap yang cecair yang memabukkan
• Bangkai selain dari mayat manusia,ikan dan belalang,darah,nanah,muntah tahi dan kencing.
• Susu binatang yang tidak dimakan dagingnya melainkan susu manusia.
• Bahagian anggota yang bercerai dari barang yang hidup itu hukumnya seperti bangkai.

CARA-CARA MENYUCI NAJIS

S: Bagaimana cara bersuci daripada najis tersebut?
J: Cara untuk menyucikan najis ialah:

1.Najis Mukhaffafah

Memadai dengan menyucikan sesuatu dari najis mukhaffafah itu dengan dipercikan air yang meratai akannya dengan tidak disyaratkan mengalir air,setelah dihilangkan ainnya.

2.Najis Mughallazah

Bagi menyucikan sesuatu dari najis mughallazah itu ialah dengan dibasuh tujuh kali.Sekali darinya dengan air tanah,iaitu air yang dicampur dengan tanah yang suci.

Jika tidak hilang najis itu sehingga beberapa kali maka dikira sekali sahaja,maka hendaklah ditambah enam kali lagi.

3.Najis Mutawasitah

Bagi menyucikan sesuatu dari najis mutawasitah itu wajiblah dihilangkan rasanya, warnanya dan baunya.(Dan tidak dimaafkan jika tinggal warnanya atau baunya).Tidak mengapa jika tinggal warna atau baunya yang payah hilang.

Dan tidak ada baginya rasa,warna dan bau memadailah mengalirkan air pada tempat yang terkena najis itu.

Hukum arak yang jadi cuka

Apabila arak atau tuak itu menjadi cuka dengan sendirinya, maka suci hukumnya, dan sucilah juga bekasnya.
Niat Mandi Junub dan Tata Caranya

Assalamu''alaikum wr wb

Pak Ustadz, apakah benar bila seseorang yang dalam keadaan junub terus mandi besar tapi tidak di niatkan untuk mandi junub maka mandinya dianggap seperti mandi biasa bukan mandi junub?

Dengan kata lain badannya masih dalam keadan hadast besar sampai dia mandi yang diniati untuk mandi junub. Kalau benar, bagaimana dengan amalan orang tersebut seperti sholat, sedangkan dia masih dalam keadaan junub.

Menurut saya, bukankah amalan seseorang dilihat dari niatnya?Kalo dia dalam keadaan junub terus mandi, bukankah di dalam hati sudah berniat untuk membersihkan diri dari hadast besar/berniat untuk mandi junub?

Yang terakhir, mohon dijelaskan adab yang dicontohkan nabi dalam hal mandi junub ini.

Wassalamualaikum wr wb
jawaban

Assalamu ''alaikum warahatullahi wabarakatuh,

Memang benar bahwa setiap amal tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat, dan setiap orang mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.

Oleh karena itulah maka setiap mujtahid selalu menyebutkan bahwa rukun pertama pada suatu ibadah itu adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah wudhu'' adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah tayammum adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah mandi janabah adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah shalat adalah niat. Pendeknya, semua ibadah punya rukun, dan rukun yang pertama adalah niat.

Tanpa niat, maka suatu ibadah tidak akan diterima Allah. Sebab niat adalah rukun, di mana bila salah satu rukun tidak terpenuhi dalam suatu ibadah, maka ibadah itu ibarat bangunan yang kehilangan tiang pondasi. Roboh dan rata dengan tanah.

Niat Dalam Hati, Lafadz di Lidah

Namun kalau disebutkan kata ''niat'', biasanya asosiasi kita langsung tertuju kepada lafadz atau bacaan niat. Padahal seluruh ulama mujtahid sepakat sejak awal bahwa yang namanya niat itu di hati, bukan di lidah.

Yang diucapkan di lidah bukan niat, melainkan lafadz niat. Lafadz niat oleh sebagian ulama dianggap sebagai penguat dari niat. Namun oleh sebagian ulama lain justru tidak boleh diucapkan, karena tidak ada contoh dari Rasululah SAW. Memang ada khilaf di kalangan para ulama mazhab tentang hukum melafadzkan niat ini. Tetapi yang pasti, seluruh ulama sepakat bahwa niat itu bukan lafadz yang diucapkan, melainkan apa yang ditetapkan di dalam hati.

Niat Mandi Janabah

Karena itu kalau ingin mandi janabah, niatkan saja di dalam hati bahwa kita akan mandi janabah. Dan hal itu tidak membutuhkan apapun, kecuali menyengaja di dalam hati. Tidak perlu melafadzkannya secara lisan. Sebab niat itu memang tempatnya di dalam hati.

Kalau di dalam hati sudah ada niat untuk mandi janabah, lalu mandilah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka mandi itu sudah sah sesuai dengan haukum syariah Islam. Sudah bisa mengangkat hadats besar.

Akan tetapi kalau di dalam hati sama sekali tidak berniat untuk mandi janabah, meski pun diteruskan dengan mandi sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, tentu tidak terhitung sebagai mandi janabah yang sah.

Mengapa?

Ya, karena kita sendiri tidak berniat untuk melakukannya sebagai sebuah ritual yang sah. Dan niat ini membedakan antara seorang yang mandi janabah betulan dengan sekedar mempraktekkannya. Seorang guru yang sedang mengajarkan tata cara mandi janabah, lalu mandi betulan, belum tentu mandi janabahnya itu sah. Tergantung niatnya, apakah dia memang betul-betul mau berniat mandi janabah, ataukah niatnya hanya sekedar memberi contoh praktis saja.

Semua kembali kepada niatnya. Dan niat itu di dalam hati, bukan di lidah.

Tata Cara Mandi Janabah

Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut

1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukan ke wajan tempat air
2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4. Najis-nsjis dibersihkan
5. Berwudhu sebagaimana untuk sholat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki
6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
8. Membersihkan seluruh anggota badan
9. Mencuci kaki

Semua itu didasarkan pada penjelasan isteri Rasulullah SAW tentang bagaimana beliau mandi janabah.

Aisyah RA berkata, `Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
Najis dan halal-haram

Maret 29, 2006 oleh agusset

Usai shalat Jumat minggu lalu, seorang kawan dari Riau daratan yang sudah lama tinggal di Hamburg bertanya tentang dua hal kepada saya dan seorang kawan lain. Pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah tentang memakai sabuk kulit buaya atau babi, "apakah itu najis atau tidak?" Pertanyaan kedua tentang membeli daging ayam, kambing atau sapi di toko atau supermarket biasa yang ada di Hamburg (maksudnya toko yang bukan dikelola oleh orang Islam dari Turki atau tanpa label halal), "apakah daging yang dibeli di sana itu halal atau tidak?"

Pertanyaan yang menarik dan selalu hangat didiskusikan selama ini. Di pengajian rutin mingguan yang sering saya ikuti, pernah beberapa kali dibahas tentang masalah itu. Ada dua pendapat yang berbeda sejauh ini berkaitan dengan pertanyaan kesatu. Sebagian besar peserta pengajian menyatakan selain haram babi juga najis, sementara itu sebagian kecil lainnya menyatakan bahwa babi hanya haram untuk dimakan, dan kulitnya jika telah disamak maka menjadi tidak najis, demikian juga dengan kulit buaya.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, secara garis besar juga terdapat dua pendapat berbeda. Sebagian besar menyatakan bahwa daging ayam, kambing atau sapi yang dibeli di toko-toko atau supermarket yang biasanya adalah haram karena proses penyembelihannya dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, dimana penekanan utamanya adalah: "pada saat disembelih disebutkan nama Allah". Sementara itu, sebagian kecil lainnya menganggap bahwa daging yang dibeli tetap halal karena penyebutan nama Allah pada saat menyembelih bukanlah hal yang wajib.

Dalam kesempatan ini saya tertarik untuk menguraikan argumentasi yang diberikan oleh pendapat minoritas yang menyatakan bahwa daging yang dibeli di toko atau supermarket biasa di Hamburg itu adalah halal. Landasan yang mereka gunakan adalah sama saja dengan pendapat para mayoritas, yaitu Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 173 (dan beberapa surat lain yang memiliki isi yang hampir sama seperti Al-Maidah ayat 3, Al-An'am ayat 145, dan An-Nahl ayat 115).

Sekarang mari kita tinjau bunyi dari surat Al-Baqarah ayat 173 tersebut:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah….

Perhatikan kalimat "dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah". Menurut mereka, kalimat itu menyatakan bahwa binatang yang pada saat kita menyembelihnya menyebutkan nama selain Allah yang diharamkan dagingnya. Artinya, kalau kita tidak menyebut nama-nama lain selain Allah (dan juga tidak menyebut nama Allah), maka itu tidak haram. Dan sebaliknya, jika pada saat menyembelih kita menyebut nama Allah, tetapi juga menyebut nama-nama lain selain Allah, maka dagingnya akan menjadi haram meskipun telah disebutkan nama Allah. Hal ini terjadi karena ada penyebutan nama lain selain Allah.

Demikianlah sedikit bincang-bincang singkat dan diskusi menarik yang sering kami lakukan tentang aturan dalam Islam. Sejauh ini selalu saja ada perbedaan tafsir atas surat atau ayat yang sama. Buat saya, hal itu tidak menjadi masalah karena memang penafsiran manusia akan suatu hal bisa saja jauh berbeda. Yang terpenting adalah tidak saling bermusuhan, menghujat, menyalahkan, mengafirkan, dan sejenisnya hanya karena berbeda pendapat dan penafsiran.

Anda punya pendapat lain? Silahkan!
Niat Mandi Junub dan Tata Caranya

Assalamu''alaikum wr wb

Pak Ustadz, apakah benar bila seseorang yang dalam keadaan junub terus mandi besar tapi tidak di niatkan untuk mandi junub maka mandinya dianggap seperti mandi biasa bukan mandi junub?

Dengan kata lain badannya masih dalam keadan hadast besar sampai dia mandi yang diniati untuk mandi junub. Kalau benar, bagaimana dengan amalan orang tersebut seperti sholat, sedangkan dia masih dalam keadaan junub.

Menurut saya, bukankah amalan seseorang dilihat dari niatnya?Kalo dia dalam keadaan junub terus mandi, bukankah di dalam hati sudah berniat untuk membersihkan diri dari hadast besar/berniat untuk mandi junub?

Yang terakhir, mohon dijelaskan adab yang dicontohkan nabi dalam hal mandi junub ini.

Wassalamualaikum wr wb
jawaban

Assalamu ''alaikum warahatullahi wabarakatuh,

Memang benar bahwa setiap amal tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat, dan setiap orang mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.

Oleh karena itulah maka setiap mujtahid selalu menyebutkan bahwa rukun pertama pada suatu ibadah itu adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah wudhu'' adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah tayammum adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah mandi janabah adalah niat. Rukun yang pertama dalam ibadah shalat adalah niat. Pendeknya, semua ibadah punya rukun, dan rukun yang pertama adalah niat.

Tanpa niat, maka suatu ibadah tidak akan diterima Allah. Sebab niat adalah rukun, di mana bila salah satu rukun tidak terpenuhi dalam suatu ibadah, maka ibadah itu ibarat bangunan yang kehilangan tiang pondasi. Roboh dan rata dengan tanah.

Niat Dalam Hati, Lafadz di Lidah

Namun kalau disebutkan kata ''niat'', biasanya asosiasi kita langsung tertuju kepada lafadz atau bacaan niat. Padahal seluruh ulama mujtahid sepakat sejak awal bahwa yang namanya niat itu di hati, bukan di lidah.

Yang diucapkan di lidah bukan niat, melainkan lafadz niat. Lafadz niat oleh sebagian ulama dianggap sebagai penguat dari niat. Namun oleh sebagian ulama lain justru tidak boleh diucapkan, karena tidak ada contoh dari Rasululah SAW. Memang ada khilaf di kalangan para ulama mazhab tentang hukum melafadzkan niat ini. Tetapi yang pasti, seluruh ulama sepakat bahwa niat itu bukan lafadz yang diucapkan, melainkan apa yang ditetapkan di dalam hati.

Niat Mandi Janabah

Karena itu kalau ingin mandi janabah, niatkan saja di dalam hati bahwa kita akan mandi janabah. Dan hal itu tidak membutuhkan apapun, kecuali menyengaja di dalam hati. Tidak perlu melafadzkannya secara lisan. Sebab niat itu memang tempatnya di dalam hati.

Kalau di dalam hati sudah ada niat untuk mandi janabah, lalu mandilah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka mandi itu sudah sah sesuai dengan haukum syariah Islam. Sudah bisa mengangkat hadats besar.

Akan tetapi kalau di dalam hati sama sekali tidak berniat untuk mandi janabah, meski pun diteruskan dengan mandi sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, tentu tidak terhitung sebagai mandi janabah yang sah.

Mengapa?

Ya, karena kita sendiri tidak berniat untuk melakukannya sebagai sebuah ritual yang sah. Dan niat ini membedakan antara seorang yang mandi janabah betulan dengan sekedar mempraktekkannya. Seorang guru yang sedang mengajarkan tata cara mandi janabah, lalu mandi betulan, belum tentu mandi janabahnya itu sah. Tergantung niatnya, apakah dia memang betul-betul mau berniat mandi janabah, ataukah niatnya hanya sekedar memberi contoh praktis saja.

Semua kembali kepada niatnya. Dan niat itu di dalam hati, bukan di lidah.

Tata Cara Mandi Janabah

Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut

1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukan ke wajan tempat air
2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4. Najis-nsjis dibersihkan
5. Berwudhu sebagaimana untuk sholat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki
6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
8. Membersihkan seluruh anggota badan
9. Mencuci kaki

Semua itu didasarkan pada penjelasan isteri Rasulullah SAW tentang bagaimana beliau mandi janabah.

Aisyah RA berkata, `Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
Pengertian Mandi Wajib/Besar/Junub, Tata Cara Dan Hukum Dalam Islam
Mon, 12/10/2009 - 12:24am — godam64

A. Arti Definisi/Pengertian Mandi Wajib / Mandi Besar / Mandi Junub

Mandi besar, mandi junub atau mandi wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah sholat.

B. Sebab/Alasan Seseorang Harus Mandi Wajib/Mandi Besar/Mandi Junub :
1. Mengeluarkan air mani baik disengaja maupun tidak sengaja
2. Melakukan hubungan seks / hubungan intim / bersetubuh
3. Selesai haid / menstruasi
4. Melahirkan (wiladah) dan pasca melahirkan (nifas)
5. Meninggal dunia yang bukan mati syahid

Bagi mereka yang masuk dalam kategori di atas maka mereka berarti telah mendapat hadas besar dengan najis yang harus dibersihkan. Jika tidak segera disucikan dengan mandi wajib maka banyak ibadah orang tersebut yang tidak akan diterima Allah SWT.

C. Tata Cara Mandi Wajib / Mandi Besar / Mandi Junub (Janabat)

Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan selama mandi karena wajib untuk dilakukan :

1. Membaca niat : "Nawaitul ghusla lirof'il hadatsil akbari fardlol lillaahi ta'aalaa" yang artinya "AKu niat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar fardlu karena Allah".
2. Membilas/membasuh seluluh badan dengan air (air mutlak yang mensucikan) dari ujung kaki ke ujung rambut secara merata.
3. Hilangkan najisnya bila ada.

D. Sunah/Sunnat Mandi Wajib / Mandi Junub / Mandi Besar

Berikut ini adalah hal-hal yang boleh-boleh saja dilakukan (tidak wajib hukum islamnya) :

1. Sebelum mandi membaca basmalah.
2. Membersihkan najis terebih dahulu.
3. Membasuh badan sebanyak tiga kali
4. Melakukan wudhu/wudlu sebelum mendi wajib
5. Mandi menghadap kiblat
6. Mendahulukan badan sebelah kanan daripada yang sebelah kiri
7. Membaca do'a setelah wudhu/wudlu
8. Dilakukan sekaligus selesai saat itu juga (muamalah)

Tambahan :
Orang yang sedang hadas besar tidak boleh melakukan shalat, membaca al'quran, thawaf, berdiam di masjid, dan lain-lain.

* agama islam

Iklan Sponsor (di luar tanggung jawab Organisasi.Org) :
“Wanita Haid Dan Puasa” ketegori Muslim. Wanita Haid Dan Puasa

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Sahkah Puasa Bila Haid Berhenti Sebelum Fajar

Tanya :
Jika haid berhenti sebelum fajar lalu bersuci, maka bagaimana hukumnya ?

Jawab :
Puasanya tetap sah bila wanita yakin bahwa haidnya berhenti sebelum fajar. Berarti yang penting ada keyakinan bahwa ia telah berhenti haidnya. Memang ada sebagian wanita yang mengira haidnya telah berhenti padahal tidak. Karena itu para wanita dengan membawa kapas datang kepada Aisyah untuk memperlihatkan tanda haid berhenti. Aisyah berkata : Kalian jangan tergesa-gesa sebelum kalian melihat cairan putih .

Oleh sebab itu, seorang wanita yang terburu-buru berpuasa sebelum yakin dirinya telah berhenti haid. Ketika telah yakin tak berhaid, barulah berniat puasa walau mandi haidnya dilakukan setelah fajar. Tetapi sebaiknya setelah haid berhenti, hendaklah seorang wanita cepat mandi untuk segera shalat fajar tepat pada waktunya, sebab wanita haid wajib segera mandi untuk shalat pada waktunya bahkan ia berhak mempersingkat mandinya. Juga ia tak dilarang untuk menambah kebersihannya setelah terbit matahari. Hal seperti ini berlaku pula bagi yang junub, baik wanita atau laki-laki. Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub setelah fajar terbit padahal beliau sedang berpuasa.

Haid Setelah Hampir Terbit Matahari

Tanya :
Sahkan puasanya seorang wanita yang datang haid setelah hampir terbenam matahari ?

Jawab :
Puasa tetap sah bahkan jika tanda-tanda haid seperti panas dan sakit sudah terasa sebelum terbenam matahari namun tak terlihat keluar haid kecuali setelah terbenam, maka puasanya tetap sah. Sebab yang merusak puasa itu adalah keluarnya darah haid, bukan karena merasa akan haid.

Kami ketahui kebanyakan wanita yang memakai pil telah membingungkan kebiasaan waktu haidnya sehingga ulama pun merasa cape dalam menetapkan hukumnya. Maka saya sarankan sebaiknya para wanita jangan memakai pil-pil anti haid, baik dalam bulan Ramadhan atau lainnya.

Memakai Pil Anti Haid Pada Bulan Ramadhan

Tanya :
Bolehkan wanita memakai pil anti haid dalam bulan Ramadhan ?

Jawab :
Setahu saya wanita jangan menggunakan berbagai pil, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya, sebab ternyata menurut penelitian dokter pil-pil itu berbahaya bagi wanita; kandungan, urat-uratan dan darah. Segala yang membahayakan dilarang agama. Nabi bersabda.

Artinya : Tidak boleh memadaratkan diri sendiri dan diri orang lain .

Haid Menghalangi Puasa dan Shalat

Tanya :
Bagaimana wanita yang datang bulan sebelum waktunya dan dengan pengobatan darah tersebut terhenti. Namun setelah delapan hari haid tiba pada waktunya, maka bagaimana hukumnya hari-hari yang kosong dari shalatnya ?

Jawab :
Wanita tersebut tak perlu qadla atas shalatnya bila membuat sebab turunnya haid, sebab haid itu darah. Ketika ada darah berarti ada hukum. Umpamanya ia menelan sesuatu yang menghalangi turunnya darah haid, maka ia tetap harus shalat dan puasa, sebab ia tak haid dan hukum itu berjalan menurut ‘ilatnya. Allah berfirman :

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : ‘Haid itu adalah suatu kotoran .

Ketika ada kotoran itu maka hukumnya ada dan sebaliknya.

Qadla Bagi Yang Haid Bila Darah Haidnya Habis Sebelum Fajar

Tanya :
Jika haid telah berhenti dan ketika sudah tiba waktu shalat fajar mandi baru dilakukan, lalu shalat serta terus berpuasa, maka mestikah puasa tersebut di qadla ?

Jawab :
Apabila yang haid bersih beberapa menit menjelang terbit Fajar dan diyakini bersihnya, maka puasa Ramadhan mesti dipenuhi dan sah serta tak wajib di qadla, karena ia puasa dalam keadaan sudah tidak haid walau belum mandi kecuali setelah terbit Fajar. Hal ini berlaku pula lelaki yang junub habis bersenggama atau keluar mani akibat mimpi lalu ia sahur dan bersuci setelah terbit Fajar. Kaitannya dengan hal ini, saya ingatkan hal penting bagi wanita, karena ada sebagian wanita yang menduga bahwa jika haid datang setelah mereka berbuka puasa sebelum shalat Isya adalah batal puasanya. Dugaan seperti itu tak ada dasar hukumnya, sebab yang benar adalah puasa tetap sah walau haid datang beberapa detik setelah terbenam matahari.

Peringatan Bagi Wanita haid Yang Tak Qadla Puasa

Tanya :
Seorang wanita mengakui bahwa dirinya selalu berpuasa Ramadhan, namun ketika haid tak pernah mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haid tersebut, disamping tidak tahunya jumlah hari-hari haid, maka kini ia memintakan petunjuk apa yang wajib dilakukannya.

Jawab :
Alangkah malangnya andaikan hal seperti itu menimpa segenap wanita muslimah kita, sebab meninggalkan qadla puasa seperti itu adalah suatu bencana, baik karena sikap bodoh yang harus diobati dengan ilmu atau karena menyepelekan yang harus diatasi dengan taqwa, mendekatkan diri kepada Allah, takut akan siksa-Nya serta segera mendapatkan keridhaan-Nya. Karena itu, wanita seperti di atas hendaklah segera bertaubat kepada Allah atas perbuatannya dengan memohon ampun dan mengqadla atas hari-hari puasa yang ditinggalkannya secara hati-hati. Semoga Allah menerima taubatnya.

Wanita Nifas dan Puasa

Tanya :
Saya seorang yang baru nikah dan dianugrahi Allah dua anak kembar. Masa nifasku telah sampai empat puluh hari yang bertepatan dengan tanggal tujuh Ramadhan, tetapi darahku terus mengalir dengan perubahan warnanya, maka bagaimana hukum shalat dan puasaku ?

Jawab :
Jika darah yang mengalir setelah habis masa nifas dianggap bertetapan dengan kebiasaan waktu haidnya, maka hendaklah darah tersebut ditunggu sampai tuntas . Jika tak bertepatan dengan masanya haid, maka ulama memperselisihkan hukumnya. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa ketika itu wanita wajib mandi bersuci, shalat dan berpuasa walau darahnya terus mengalir, sebab sebagai darah istihadhah . Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu perlu ditunggu sampai 60 hari, sebab ada beberapa wanita yang bernifas selama 60 hari.

Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 196-199, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy



sikap seorang wanita muslimah yang baik doa mandi setelah menstruasi mandi wajib setelah haid doa setelah haid doa setelah haid batas membayar puasa doa mandi menjelang ramadhan apa yg dilakukan perempuan habis nikah tidak haid tapi keluar darah
Keutamaan dan Keistimewaan Puasa


Segala puji hanya milik Allah Yang Maha Esa. Shalawat dan salam tetap atas seorang yg tidak ada nabi setelahnya Muhammad saw .. Amma ba’du. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda yg artinya “Segala amal kebaikan manusia adl untuknya; satu kebaikan akan dibalas sepuluh hingga 700 kali-lipat. Allah SWT berfirman ‘Kecuali puasa krn ia adl milikKu dan Aku pula yg akan membalasnya ia meninggalkan syahwatnya makanan dan minumannya krn Aku’. Ada dua kebahagiaan yg diperuntukkan bagi orang yg berpuasa; kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dgn Tuhannya. Sesungguhnya bau mulut orang yg berpuasa lbh harum bagi Allah daripada aroma minyak misik.” . Allah SWT telah mengistimewakan puasa di antara amal kebaikan lainnya dgn menyandarkannya langsung kepada Zat-Nya dalam hadis qudsi Allah berfirman “?kecuali puasa krn ia adl milikKu ?.” Mengenai makna hadis ini banyak dijumpai pendapat para fuqaha dan ulama lainnya mereka menerangkan beberapa alasan pengistimewaan puasa ini di antara alasan yg terbaik adalah Pertama puasa adl ibadah dalam bentuk meninggalkan keinginan dan hasrat jiwa yg dasar yg terbentuk secara fitrahnya cendrung mengikuti semua keinginannya dan dilakukan semata-mata krn Allah SWT. Hal ini tidak terdapat pada ibadah-ibadah selain puasa. Ibadah ihram misalnya mengandung larangan melakukan hubungan suami-istri dan hal-hal yg merangsangnya seperti mengenakan parfum sementara itu di dalamnya tidak terkandung larangan memenuhi hasrat jiwa yg lain seperti makan dan minum. Sama halnya dgn ihram i’tikaf pun demikian sekalipun ia merupakan ibadah yg ikut dalam cakupan puasa . Sedangkan salat sekalipun orang yg sedang salat diharuskan meninggalkan semua hasrat jiwanya namun itu hanya dilakukan pada masa yg tidak lama sehingga orang yg salat tidak merasa kehilangan makanan dan minuman bahkan sebaliknya ia dilarang salat ketika hatinya menginginkan makanan yg ada di hadapannya sampai ia memakannya ala kadarnya yg membuat hatinya tenang karenanya ia diperintahkan utk makan malam terlebih dahulu sebelum salat. Ini semua berbeda dgn puasa yg dilakukan sepanjang siang hari penuh. Oleh krn itu orang yg berpuasa akan merasakan kehilangan hasrat jiwanya ini saat hatinya sangat menginginkannya terutama pada siang hari musim kemarau yg sangat panas dan lama oleh krn itu ada sebuah riwayat menerangkan bahwa termasuk bagian dari iman puasa di musim kemarau. Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Abu al-Darda’ ra pernah berpuasa Ramadhan dalam sebuah perjalanan dalam cuaca yg sangat panas ketika para sahabat tidak ikut berpuasa . Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah berada pada dataran tinggi ketika sedang berpuasa ketika itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya krn dahaga atau panas yg dirasakannya. Ketika hati seseorang sangat merindukan sesuatu yg diinginkannya dan ia mampu utk mendapatkannya namun ia meninggalkannya krn Allah SWT padahal ketika itu ia berada di suatu tempat yg tidak ada orang pun yg mengawasinya kecuali Allah maka hal ini merupakan tanda kebenaran imannya. Orang yg berpuasa yakin bahwa ia mempunyai Tuhan yg selalu mengawasinya ketika ia berada di tempat yg sepi dan mengharamkan kepadanya memenuhi hasrat jiwanya yg memang telah dikodratkan bahwa ia akan selalu menginginkannya. Lalu ia pun menaati Tuhannya melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya krn takut akan siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya. Oleh krn itulah Allah berterima kasih kepadanya atas yg demikian itu dan Ia mengkhususkan amal perbuatan ini di antara amal-amal lainnya utk Zat-Nya karenanya setelah itu Allah SWT berfirman “Sungguh ia telah meninggalkan hasrat makanan dan minumannya semata-mata hanya krn Aku.” Tatkala seorang mukmin yg berpuasa mengetahui bahwa ridha Tuhannya terdapat pada upayanya meninggalkan hasrat jiwanya maka ia akan lbh mendahului ridha Tuhannya atas hawa nafsunya. Maka jadilah kelezatan yg dirasakannya terdapat ketika ia meninggalkan hasratnya krn Allah krn ia yakin bahwa Allah selalu mengawasinya dan pahala serta siksa-Nya lbh besar dibandingkan kelezatan yg diperolehnya ketika memenuhi hasratnya di tempat sepi. Hal ini krn ia lbh mementingkan ridha Tuhannya dari pada hawa nafsunya. Bahkan kebencian seorang mukmin terhadap hal itu saat berada di tempat sepi akan lbh besar dibandingkan kebenciannya terhadap rasa sakit akibat pukulan. Salah satu tanda keimanan adl kebencian seorang mukmin terhadap keinginan hasrat jiwanya ketika ia tahu bahwa Allah tidak menyukainya maka jadilah kelezatannya terdapat pada hal-hal yg diridhai oleh Tuhannya sekalipun bertentangan dgn keinginan nafsunya dan kepedihan yg dirasakannya terdapat pada hal-hal yg tidak disukai Tuhannya sekalipun bersesuaian dgn keinginan nafsunya. Dikatakan dalam sebuah syair “Siksanya karenamu terasa sejuk dan jauhnya karenamu terasa dekat.Engkau bagiku bagaikan nyawaku bahkan engkau lbh aku cintai dibanding nyawaku.Cukuplah bagiku rasa cinta bahwa aku mencintai apa yg engkau cinta.” Kedua puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya yg hanya diketahui oleh-Nya krn puasa terdiri dari niat yg tersembunyi yg hanya diketahui oleh Allah saja dan meninggalkan hasrat jiwa yg biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh krn itu dikatakan bahwa puasa ini tidak dicatat oleh malaikat hafadhah . Pendapat lain mengatakan bahwa pada puasa tidak terdapat riya’. Pendapat ini bisa dikembalikan kepada yg pertama krn orang yg meninggalkan keinginan nafsunya krn Allah SWT di mana tidak ada yg mengawasinya ketika itu kecuali hanya Zat yg memberinya perintah dan larangan maka hal ini menunjukkan kebenaran imannya. Allah SWT menyukai jika hamba-hamba-Nya berhubungan dengan-Nya secara rahasia dan orang-orang yg mencintai-Nya juga menyukai jika mereka dapat berhubungan dengan-Nya secara rahasia sampai-sampai beberapa dari mereka sangat menginginkan seandainya para malaikat hafadhah tidak mengetahui ibadah yg dilakukannya. Ketika beberapa rahasianya terbongkar sebagian dari mereka berkata “Hidup ini akan terasa nyaman ketika hubungan antara aku dan Dia tidak diketahui oleh siapa pun.” Lalu ia memohon agar ia dimatikan dan tak lama kemudian ia meninggal dunia. Orang-orang yg mencintai akan merasa cemburu seandainya orang-orang yg cemburu kepadanya mengetahui rahasia-rahasia antara mereka dan Zat yg mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. “Janganlah kamu sebarkan rahasia yg terjaga krn aku akan merasa cemburu jika yg aku cintai disebutkan di hadapan orang-orang yg ada bersamaku.” Sumber Diadaptasi dari Lathaif al-Ma’arif fi Ma li Mawasim al-’Am min al-Wadhaif al-Hafidz Ibnu Rajab al-HanbaliOleh aldakwah.com Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

sumber file al_islam.chm
bagi yang berpuasa kebahagiaan hadits qudsi tentang puasa kebahagiaan orang berpuasa keutamaan dan keistimewaan puasa hubungan suami istri saat puasa Hadits Qudsi Puasa Ramadhan keistimewaan puasa ramadhan keistimewaan puasa ramadhan